Hukum MLM Dari Sudut Pandang Islam
November 16, 2015
Hukum
MLM Dari Sudut Pandang Islam
Hukum Multi Level Marketing Dalam Islam
Sebelum mulai, baca Bismillah dulu dan berdoa.. semoga semua ini menjadi manfaat dan mendapatkan pahala serta ridho Allah Ta’ala.. Aamiin
MULTI LEVEL MARKETING atau lebih sering disingkat dengan MLM, merupakan sebuah fenomena abad 21. Hampir setiap minggu, ada saja perusahaan MLM baru yang muncul di dunia. Artinya, ini sudah merupakan tren dan menjadi bagian dari kehidupan bermasyarakat.
Islam sebagai agama yang rahmatan lil’alamiin
dan
yang juga bertujuan untuk mampu
memberikan pedoman dalam hidup manusia, tentu juga harus memberikan
perhatian pada
munculnya
fenomena MLM ini.
Meskipun pada jaman awal perkembangan Islam, MLM tentu belum
ada. Tapi, Nabi SAW telah
memberikan kita
umat Islam pedoman
yang
sangat lengkap yaitu
Al Qur’an dan Hadits yang
dari keduanya, kita sebagai umat Islam mampu membuat hukum turunan atas beberapa persoalan yang berkembang di era saat ini
bahkan sampai di masa depan nanti.
Sebagai mana hadist berikut ini:
Dari Sahabat Abu Dzarr Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah pergi meninggalkan kami (wafat), dan tidaklah seekor burung yang terbang membalik- balikkan kedua sayapnya di udara melainkan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menerangkan ilmunya kepada kami.” Berkata Abu Dzar Radhiyallahu anhu, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda, ‘Tidaklah tertinggal sesuatu pun yang mendekatkan ke Surga dan menjauhkan dari Neraka melainkan telah dijelaskan semuanya kep ada kalian .’ ”
(HR. At-Thabrani dalam Mu’jamul Kabir (II/155-156 no. 1647) dan Ibnu Hibban(no. 65) dengan ringkas dari Shahabat Abu Dzarr Radhiyallahu anhu. Lihat Silsilah al-Ahaadits ash-Shahihah no. 1803).
Dan dengan pendekatan yang sama, saya pun ingin memberikan sedikit sumbangsih pikiran saya melalui hasil kajian dari Al Qur’an, Hadits, Fatwa para ulama, diskusi dengan beberapa guru dan pakar ekonomi Islam yang saya lakukan selama 8 tahun terakhir mengenai bagaimana hukum MLM dalam Islam. Semoga bermanfaat.
Hukum Dasar
Sebelum, kita jauh membahas MLM, saya ingin mengajak Anda semua untuk megetahui hukum dasar bagaimana manusia boleh bertransaksi dan bertukar keuntungan.
Coba lihat Surat An Nisa ayat 29:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.”
Dalam ayat ini dijelaskan secara umum bagaimana Islam telah mengatur proses perpindahan uang dari satu orang ke orang yang lain. Pada prinsipinya, terjadinya perpindahan uang atau kekayaan dari sesama manusia adalah boleh. Dengan catatan!!! Melalui perdagangan yang berlaku atas dasar suka sama suka di antara pelaku.
Perdagangan Yang Tidak Bathil
Adalah sebuah perdagangan yang berprinsip suka sama suka. Artinya, selama kedua belah pihak memiliki dasar suka rela (alias tidak ada paksaan) maka PADA PRINSIPNYA SELURUH perdagangan adalah MUBAH (dibolehkan).
Tapi tunggu dulu..!!!
Dalam belajar agama, satu tafsir tidak boleh langsung dijadikan sebagai dasar dari sebuah amalan. Di sinilah pentingnya belajar agama secara Kafah (total, menyeluruh dan sempurna) agar kita tidak jatuh pada penafsiran yang salah dan berujung pada kesesatan yang menyesatkan.
Bayangkan jika kita berhenti pada penafsiran satu ayat tanpa melihat ayat yang lain atau hadits nabi sebagai pelengkapnya, maka mungkin kita bisa saja akan menjadi golongan yang memperbolehkan perdagangan miras, prostistusi, narkoba, daging babi, dan segala dzat haram yang telah Allah dan rasulNya haramkan. Karena yang penting kan suka sama suka, hehehe..
So, meskipun pada dasarnya perdagangan hukumnya adalah MUBAH, tetap perlu melihat kaidah lain yang terkait agar penetapan hukum suatu perkara menjadi terang tanpa adanya multi tafsir yang memungkinkan terjadinya perdebatan di kemudian hari.
Misal dengan menggunakan hadits ini sebagai batasannya,
Artinya, tidak semua kesepakatan ituhukumnya boleh jika di dalamnya ada keburukan.
“Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Allah, sesungguhnya ketaatan itu dalam kebaikan.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari shahabat ‘Ali bin Abi Thalib RA).
Artinya, tidak semua kesepakatan ituhukumnya boleh jika di dalamnya ada keburukan.
Itulah kenapa Allah mengutus Rasulullah SAW sebagai “Guru” bagi kita semua yang bertugas menerangkan secara gamblang pelajaran-pelajaran dari ilmu Allah yang begitu luas.
“Katakanlah: Sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula)”. (QS al- Kahfi [18]:109)
Adanya Hadits-hadits nabi merupakan sebuah pelengkap yang menyempurnakan pedoman hidup kita.
Dan sedikit pelajaran tafsir untuk kawan-kawan semua, bahwa untuk menafsirkan suatu ayat, kita bisa menggunakan beberapa metode:
1. Menafsirkan ayat melalui tata bahasa arab itu sendiri
2. Menafsirkan ayat dengan ayat lainnya
3. Menafsirkan ayat dengan perkataan nabi (hadits)
4. Menafsirkan ayat melalui kejadian alam (ayat kauniyah)
Disamping masih banyak lagi metode lain yang tak cukup rasanya jika saya membahasnya. Intinya, saya hanya ingin mengajak teman-teman semua untuk melihat suatu permasalahan dari beberapa sudut pandang secara objektif dengan dasar keilmuan yang jelas.
Mari kita mulai..
JUAL BELI DALAM ISLAM
Oke, kembali ke Hukum perdagangan dalam Islam.
Pada dasarnya hukum muamalah adalah mubah (diperbolehkan) sebagaimana yang telah disepakati oleh mayoritas ulama fiqih dalam kitab-kitab mereka dengan menetapkan sebuah kaidah fiqhiyah yang berbunyi ‘Al-Ashlu Fil Asy-ya-i Wal A’yani Al-Ibahatu’. Kaidah ini berlandaskan beberapa dalil syar’i, diantaranya adalah firman Allah:
“Dialah (Allah) yang menciptakan segala apa yang ada di bumi untukmu.” (QS. Al-Baqarah: 29)
Dan jual beli (perdagangan) adalah termasuk dalam katagori muamalah yang dihalalkan oleh
Allah, sebagaimana firman-Nya:
“Dan Allah telah menghalalkan jual beli.” (Q.S. Al Baqarah: 275)
Al-Hafizh Ibnu katsir dalam tafsir ayat diatas mengatakan: “Apa-apa yang bermanfaat bagi hamba-Nya maka Allah memperbolehkannya dan apa-apa yang memadharatkannya maka Dia melarangnya bagi mereka”.
Dari ayat ini para ulama mengambil sebuah kaidah bahwa seluruh bentuk jual beli hukum asalnya boleh kecuali jual beli yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya. Yaitu setiap transaksi jual beli yang tidak memenuhi syarat sahnya atau terdapat larangan dalam unsur jual-beli tersebut.
PENGERTIAN JUAL BELI
Jual Beli bisa didefinisikan sebagai: Suatu transaksi pemindahan pemilikan suatu barang dari satu pihak (penjual) ke pihak lain (pembeli) dengan imbalan suatu barang lain atau uang.
Atau dengan kata lain, jual beli itu adalah ijab dan qabul, yaitu suatu proses penyerahan dan penerimaan dalam transaksi barang atau jasa.
Islam mensyaratkan adanya saling rela antara kedua belah pihak yang bertransaksi. Hadits riwayat Ibnu Hibban dan Ibnu Majah menjelaskan hal tersebut:
“Sesungguhnya Jual Beli itu haruslah dengan saling suka sama suka.”
Oleh karena kerelaan adalah perkara yang tersembunyi, maka ketergantungan hukum sah tidaknya jual beli itu dilihat dari cara-cara yang nampak (dhahir) yang menunjukkan suka sama
suka, seperti adanya ucapan penyerahan dan penerimaan.
MACAM-MACAM JUAL BELI
Beberapa macam jual beli yang diakui Islam antara lain adalah:
1. Jual beli barang dengan uang tunai.
2. Jual Beli barang dengan barang (muqayadlah/barter).
3. Jual beli uang dengan uang (Sharf).
4. Jual Utang dengan barang, yaitu jual beli Salam (penjualan barang dengan hanya menyebutkan ciri-ciri dan sifatnya kepada pembeli dengan uang kontan dan barangnya diserahkan kemudian).
5. Jual beli Murabahah (Suatu penjualan barang seharga barang tersebut ditambah keuntungan yang disepakati). Misalnya seseorang membeli barang kemudian menjualnya kembali dengan keuntungan tertentu. Karakteristik Murabahah adalah si penjual harus memberitahu pembeli tentang harga pembelian barang dan menyatakan jumlah keuntungan yang ditambahkan pada biaya tersebut.
Untuk dapat mengetahui dan memahami bentuk-bentuk transaksi jual beli yang dilakukan oleh umumnya manusia, apakah hukumnya sah atau tidak, penghasilan yang diperolehnya halal atau tidak, maka berikut ini kami akan sebutkan rukun-rukun dan syarat-syarat sahnya jual beli.
RUKUN JUAL BELI
Jual beli memiliki 3 (tiga) rukun:
1. Al- ‘Aqid (orang yang melakukan transaksi/penjual dan pembeli),
2. Al-‘Aqd (transaksi),
3. Al-Ma’qud ‘Alaihi ( objek transaksi mencakup barang dan uang).
Masing-masing rukun memiliki syarat;
1. Rukun Pada Al-‘Aqid
PERTAMA, Al- ‘Aqid (penjual dan pembeli) haruslah seorang yang merdeka, berakal (tidak gila), dan baligh atau mumayyiz (sudah dapat membedakan baik/buruk atau najis/suci, mengerti hitungan harga).
Seorang budak apabila melakukan transaksi jual beli tidak sah kecuali atas izin dari tuannya, karena ia dan harta yang ada di tangannya adalah milik tuannya.
Hal ini berdasarkan sabda Nabi: “Barangsiapa menjual seorang budak yang memiliki harta, maka hartanya itu milik penjualnya, kecuali jika pembeli mensyaratkan juga membeli apa yang dimiliki oleh budak itu.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Demikian pula orang gila dan anak kecil (belum baligh) tidak sah jual-belinya, berdasarkan firman Allah:
“Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya”. (QS. An-Nisaa’: 6).
Para ulama ahli tafsir mengatakan: “Ujilah mereka supaya kalian mengetahui kepintarannya”, dengan demikian anak-anak yang belum memiliki kecakapan dalam melakukan transaksi tidak diperbolehkan melakukannya hingga ia baligh. Dan di dalam ayat ini juga Allah melarang menyerahkan harta kepada orang yang tidak bisa mengendalikan harta.
KEDUA, Penjual dan pembeli harus saling ridha dan tidak ada unsur keterpaksaan dari pihak manapun meskipun tidak diungkapkan.
Allah berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu”. (Q.S. An-Nisaa’: 29).
Rasulullah bersabda:
“Sesungguhnya jual beli itu harus dilakukan dengan suka rela.” (HR. Ibnu Majah II/737 no. 2185 dan Ibnu Hibban no. 4967)
Maka tidak sah jual-beli orang yang dipaksa. Akan tetapi di sana ada kondisi tertentu yang mana boleh seseorang dipaksa menjual harta miliknya, seperti bila seseorang memiliki hutang kepada pihak lain dan sengaja tidak mau membayarnya, maka pihak yang berwenang boleh memaksa orang tersebut untuk menjual hartanya, lalu membayarkan hutangnya, bila dia tetap tidak mau menjualnya maka dia boleh melaporkan kepada pihak yang berwenang agar menyelesaikan
kasusnya atau memberikan hukuman kepadanya (bisa dengan penjara atau selainnya). Nabi bersabda:
“Orang kaya yang sengaja menunda-nunda pembayaran hutangnya telah berbuat zhalim. Maka dia berhak diberikan sanksi.” (HR. Abu Daud)
Masalah: Hukum membeli barang dengan harga miring dari seseorang yang butuh uang tunai karena kepepet (terpaksa)
Dalam masalah ini ada tiga pendapat para ulama fiqih, tetapi pendapat yang rojih (terkuat) ialah yang mengatakan dibolehkan dan bahkan dianjurkannya jual beli seperti ini dalam rangka membantu saudara seiman yang membutuhkan uang tunai secepatnya. Juga dikarenakan tidak terdapat unsur keterpaksaan, karena orang ini akan menjual barangnya kepada siapapun dengan harga miring. Namun sebagian ulama dalam mazhab hanbali memakruhkan membeli barang tersebut meskipun transaksinya sah.
Adapun hadits yang berbunyi:
“Bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam melarang membeli barang dari orang yang sedang kepepet”, adalah hadits dho’if (lemah), diriwayatkan oleh Abu Daud no. 3384. (lihat Shohih Fiqhis Sunnah IV/271)
2. Rukun Pada Al-‘Aqdu (transaksi/ijab-qabul) dari penjual dan pembeli.
Ijab (penawaran) yaitu si penjual mengatakan, “saya jual barang ini dengan harga sekian”. Dan
Qabul (penerimaan) yaitu si pembeli mengatakan, “saya terima atau saya beli”.
Di dalam hal ini ada dua pendapat:
Pendapat pertama: Mayoritas ulama dalam mazhab Syafi’i mensyaratkan mengucapkan lafaz ijab-qabul dalam setiap bentuk jual-beli, maka tidak sah jual-beli yang dilakukan tanpa mengucapkan lafaz “saya jual… dan saya beli…”.
Pendapat kedua: Tidak mensyaratkan mengucapkan lafaz ijab-qabul dalam setiap bentuk jual- beli. Bahkan imam Nawawi -pemuka ulama dalam mazhab Syafi’i- melemahkan pendapat pertama dan memilih pendapat yang tidak mensyaratkan ijab-qabul dalam aqad jual beli yang merupakan mazhab maliki dan hanbali. (lihat. Raudhatuthalibin 3/5).
Dalil pendapat kedua sangat kuat, karena Allah dalam surat An-Nisa’ hanya mensyaratkan saling ridha antara penjual dan pembeli dan tidak mensyaratkan mengucapkan lafaz ijab-qabul. Dan saling ridha antara penjual dan pembeli sebagaimana diketahui dengan lafaz ijab-qabul juga dapat diketahui dengan adanya qarinah (perbuatan seseorang dengan mengambil barang lalu membayarnya tanpa ada ucapan apa-apa dari kedua belah pihak). Dan tidak ada riwayat dari nabi atau para sahabat yang menjelaskan lafaz ijab-qabul, andaikan lafaz tersebut merupakan syarat tentulah akan diriwayatkan. (lihat. Kifayatul akhyar hal.283, Al Mumti’ 8/106).
Imam Baijuri –seorang ulama dalam mazhab Syafi’i- berkata, “ mengikuti pendapa t yang mengatakan lafaz ijab-qabul tidak wajib sangat baik, agar tidak berdosa orang yang tidak mengucapkannya… malah orang yang mengucapkan lafaz ijab-qabul saat berjual beli akan
diter tawakan…” (lihat. Hasyiyah Ibnu Qasim 1/507).
Dengan demikian boleh membeli barang dengan meletakkan uang pada mesin lalu barangnya keluar dan diambil atau mengambil barang dari rak di super market dan membayar di kasir tanpa ada lafaz ijab-qabul. Wallahu a’lam.
3. Rukun Pada Al-Ma’qud ‘Alaihi ( objek transaksi mencakup barang dan uang ). Al-Ma’qud ‘Alaihi memiliki beberapa syarat:
a. Barang Yang Diperjual-Belikan Memiliki Manfaat Yang Dibenarkan Syariat, bukan najis dan
bukan benda yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:
“Sesungguhnya Allah apabila mengharamkan atas suatu kaum untuk memakan sesuatu, maka Dia pasti mengharamkan harganya”. (HR. Abu Dawud dan Baihaqi dengan sanad shahih)
Oleh karena itu tidak halal uang hasil penjualan barang-barang haram sebagai berikut: Minuman keras dengan berbagai macam jenisnya, bangkai, babi, anjing dan patung. Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:
“Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya mengharamkan jual beli khamer, bangkai, babi dan
patung”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam hadist yang lain riwayat Ibnu Mas’ud beliau berkata:
“Sesungguhnya Nabi SAW melarang (makan) harga anjing, bayaran pelacur dan hasil
perdukunan”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Termasuk dalam barang-barang yang haram diperjual-belikan ialah Kaset atau VCD porno. Maka uang hasil keuntungan menjual barang ini tidak halal dan tentunya tidak berkah.
b. Barang Yang Dijual Harus Barang Yang Telah Dimilikinya. Dan kepemilikan sebuah barang dari hasil pembelian sebuah barang menjadi sempurna dengan terjadinya transaksi dan serah-terima.
Diriwayatkan dari Hakim bin Hizam, dia bertanya kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam tentang seseorang yang datang ke tokonya untuk membeli suatu barang, kebetulan barang tersebut sedang tidak ada di tokonya, kemudian dia mengambil uang orang tersebut dan membeli barang yang diinginkan dari toko lain, maka Nabi shallallahu alaihi wasallam menjawab:
“Jangan engkau jual barang yang tidak engkau miliki!” (HR. Abu Daud II/305 no.3503)
Masalah yang muncul:
Lalu bagaimana dengan sistem Reseller atau Dropship yang karena berkembangnya teknologi Online hal ini menjadi timbul dalam dunia perdagangan saat ini. Dan bahkan, sebagian besar sistem MLM menganut sistem ini, karena member tidak memiliki barang kecuali hanya berupa katalog saja.
Jawabannya secara Syari’:
Hukum Transaksi Online
Dari 'Abdullah bin 'Umar r.a bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Dua orang yang melakukan jual beli, masing-masing punya hak pilihan atas teman jual belinya selama keduanya belum berpisah, kecuali jual beli yang tidak membutuhkan berpisah”. [HR.bukhari No : 1969].
Rasulullah SAW bersabda:
“Jika dua orang melakukan jual beli maka masing-masingnya punya hak khiyar (pilihan) atas jual belinya selama keduanya belum berpisah. Jika keduanya sepakat atau salah satu dari keduanya memilih lalu dilakukan transaksi maka berarti jual beli telah terjadi dengan sah, dan seandainya keduanya berpisah setelah transaksi sedangkan salah seorang dari keduanya tidak membatalkan transaksi maka jual beli sudah sah”. [HR.bukhari No : 1970].
Pengertian jual beli didalam kitab fiqih adalah :
“Pertukaran suatu harta (uang) dengan harta lain (barang atau layanan) dengan cara tertentu. Atau, tukar menukar benda yang diinginkan dengan sesama jenisnya dengan cara tertentu yang bermanfaat dengan serah terima atau saling memberi”.
Yang diperhitungkan dalam akad-akad adalah subtansinya, bukan bentuk ucapannya. Dan jual beli via telpon, telex dan telegram dan semisalnya telah menjadi alternatif utama dan dipraktikkan. [Syarh al-Yaqut an-Nafis karya Muhammad bin Ahmad al-Syatiri].
Mari kita lebih mengarah pada Dropship.
Simak lanjutannya ---> BACA
penulis buku by: Andre Raditya
blogger & editing : Arief Soleh Petualang